Friday, April 27, 2007

the truth

Bila di suatu majelis ada perbedaan pendapat, sebagian orang sering langsun=
g mengeluarkan jurus =93peredam ikhtilaf=94, yaitu kalimat-kalimat seperti =
=93Kebenaran itu relatif=94, =93yang mutlak benar hanya Tuhan, kebenaran il=
mu itu relatif=94, dan sebagainya.

Masalah ini bermula ketika berbagai usaha untuk =93islamisasi ilmu pengetah=
uan=94 sering terjebak pada keinginan untuk mencocok-cocokkan suatu fakta i=
lmiah dengan al-Qur=92an atau al-Hadits. Tindakan ini sangat berbahaya, kar=
ena andaikata suatu ketika yang dianggap fakta ilmiah itu teranulir oleh fa=
kta yang lebih akurat, maka al-Qur=92an atau al-Hadits akan kehilangan kred=
ibilitasnya.

Maka kita perlu menengok sejauh mana relativitas kebenaran itu, dan sejauh =
mana kita bisa menempatkan diri secara proporsional.

Dalam filsafat ilmu, kita mengenal tiga jenis aliran informasi, dan ini ber=
akibat ada tiga macam kebenaran, yaitu: (1) kebenaran deduktif atau bisa di=
sebut juga kebenaran subjektif/otoritatif/deklaratif; (2) kebenaran naratif=
atau transmisif; (3) kebenaran induktif atau objektif/konklusif. Tiga jeni=
s kebenaran ini bisa berkaitan namun tak bisa dicampuradukkan.

Kebenaran deduktif adalah kebenaran pernyataan (declaration) dari seseorang=
karena otoritasnya =97yang tentu saja bisa subjektif. Seorang ayah berhak =
memberi nama anaknya Ahmad, sehingga pasti salah kalau orang lain memanggil=
anak itu Aceng. Suatu pemerintah berhak menetapkan bahwa kendaraan jalan d=
i lajur kiri, sehingga pasti salah bila ada kendaraan jalan di lajur kanan.=
Di sini kebenaran sama sekali tidak relatif. Kebenaran ini hanya bisa digu=
gat ketika otoritas ayah atau pemerintah tersebut dipertanyakan.

Ummat muslim seharusnya menyadari, bahwa kebenaran sumber-sumber Islam sepe=
rti al-Qur=92an, as-Sunnah atau Ijma=92 as-Shahabah, adalah memiliki dedukt=
if/subjektif, artinya kebenarannya tergantung sejauh mana otoritas yang men=
geluarkannya itu (Allah-Rasul) memiliki arti bagi kita. Karena itu hal yang=
paling mendasar adalah pengakuan atas otoritas tadi, yaitu syahadatain.

Kebenaran naratif adalah kebenaran akurasi dari objek atau informan ke pene=
rima. Kebenaran ini terkait dengan akurasi alat transmisi (alatnya cacat, n=
oise, bias atau tidak) dan tingkat kepercayaan manusia yang terlibat (apa b=
enar pernah bertemu dan mendengar/melihat, sejauh mana ingatannya, reputasi=
kredibilitasnya, dan lain-lain). Inilah kebenaran yang sering diandalkan o=
leh para jurnalis, pengadilan, pemberantas korupsi dan periwayat hadits.

Kebenaran induktif adalah kebenaran objektif. Nilai kebenaranya tidak terga=
ntung dari siapa yang mengeluarkan, namun dari alur logis cara menarik kesi=
mpulan tentang objeknya, yang bisa diulangi oleh siapapun. Inilah jenis keb=
enaran yang paling luas, yang ditemui di dunia sains maupun fiqih. Dalam ke=
benaran induktif, sesuatu dianggap benar sampai ditemukan suatu kejanggalan=
, yaitu ketika ada dalil atau fakta yang tidak =93fit=94 di konklusinya.

Kebenaran induktif ini ada yang bersifat relatif dan ada yang mutlak. Yang =
bersifat relatif pada umumnya mencakup hal-hal yang rumit dan rinci. Yang m=
utlak mencakup hal-hal yang sederhana.

Contoh: adalah mutlak benar mengatakan bahwa bentuk bumi ini mirip bola (da=
n mutlak salah mengatakan bumi ini seperti cakram). Namun mengatakan berapa=
besar radius bumi sampai milimeter terdekat masih relatif benar, karena ha=
l itu terkait dengan beberapa penyederhanaan yang menjadi asumsinya.

Dalam ilmu pengetahuan, agar sesuatu itu bisa berguna, dia tidak harus mutl=
ak benar. Cukup bahwa prediksi yang dihasilkannya sesuai dengan kenyataan, =
sudah akan membuat ilmu itu memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.

Pada abad pertengahan, peta-peta yang dipakai oleh para penjelajah dunia, m=
asih sangat sederhana, dan dilihat dari kacamata sekarang, jelas banyak yan=
g salah. Namun peta-peta itu telah berguna membawa banyak tokoh sejak dari =
al-Biruni, Vasco da Gama atau James Cook mencapai tempat-tempat yang saat i=
tu sulit dibayangkan.

Demikian juga teori mekanika Newton sebenarnya tidak tepat benar. Kalau unt=
uk memprediksi gerakan planet Mercurius, teori Newton akan gagal. Orang har=
us beralih ke Teori Relativitas Umum Einstein. Namun teori Newton ini bergu=
na untuk 95% persoalan sehari-hari, mulai dari perhitungan struktur banguna=
n, aerodinamika pesawat, hingga prediksi planet-planet selain Mercurius. Or=
ang kemudian memandang bahwa Teori Einstein lebih benar dan lebih luas dari=
teori Newton, atau Teori Newton adalah special-case dari Teori Einstein.

Yang jelas, kebenaran induktif yang mutlak, bisa menjadi acuan untuk kebena=
ran deduktif dan naratif. Siapakah ayah yang berhak memberi nama anaknya, b=
isa dicari secara induktif, misalnya dengan tes DNA. Juga siapakah Nabi yan=
g memang authorized untuk menyatakan diri sebagai Rasul utusan Tuhan, bisa =
dibuktikan (induktif) dari mukjizat yang dibawanya. Demikian juga, siapa ya=
ng ternyata kredible dalam penuturan hadits, dikaji terlebih dulu secara in=
duktif.

Namun di luar persoalan kebenaran, ada persoalan lain. Filsafat membagi obj=
ek empiris dalam tiga dunia: =93logika=94 (yang mengenal BENAR dan SALAH), =
=93etika=94 (yang mengenal BAIK dan BURUK) dan =93estetika=94 (yang mengena=
l INDAH dan JELEK). Pada umumnya, ketiga dunia ini dianggap sama sekali tak=
saling bertaut. Karenanya, suatu ekspresi seni yang secara etika dianggap =
melanggar norma kesopanan, oleh kalangan lain dianggap memiliki nilai estet=
is.

Di sinilah Islam mengintegrasikan ketiga dunia tersebut di bawah satu payun=
g kebenaran syariat. Syariat menentukan nilai BENAR-SALAH dari suatu perbua=
tan, dan yang sesuai syariat adalah BAIK, dan nilai keindahanpun baru ada b=
ila memenuhi kriteria minimal syariat (HALAL). Tentu saja bagi yang telah m=
emenuhi syarat minimal syariat, masih terbentang spektrum dari yang BAIK da=
n LEBIH BAIK, dari yang INDAH dan LEBIH INDAH. Dan ini sangat subjektif.

No comments: